Ingin tahu soal 5 Destinasi Super Prioritas,klik di sini ya!
Mengenal Tradisi Menjaga Bumi dari Berbagai Daerah di Indonesia

Mengenal Tradisi Menjaga Bumi dari Berbagai Daerah di Indonesia

0

Memperingati Hari Bumi Sedunia yang jatuh setiap 22 April tidak hanya dengan menanam pohon dan membuang sampah pada tempatnya saja. Banyak cara atau bentuk ucapan syukur yang bisa kita lakukan untuk bumi atas segala hal yang telah diberikan setiap harinya. Seperti salah satunya dengan melakukan tradisi budaya untuk berterima kasih kepada bumi yang telah memberikan kita berkah yang melimpah.

Menjaga bumi dan alam secara menyeluruh sudah menjadi kewajiban bagi setiap orang, sebab kondisi alam yang terjaga dan terawat dengan baik menjadi faktor penting pada sebuah destinasi wisata. Dengan kata lain, alam yang terjaga dengan baik akan menjadi sebuah daya tarik yang dapat mendatangkan banyak wisatawan untuk berkunjung. 

Kabar baiknya, kesadaran untuk menjaga bumi seakan sudah menjadi bagian hidup masyarakat Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya tradisi-tradisi dari setiap daerah di Indonesia yang dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat lokal sebagai bentuk berterima kasih kepada bumi. Satu di antaranya yang cukup populer adalah tradisi mengucap syukur dan terima kasih kepada Dewi Sri. 

Mengutip dari laman Kompas.com, bagi masyarakat Jawa dan Bali, Dewi Sri merupakan Dewi Bercocok Tanam atau Dewi Padi, yang turut dikenal sebagai simbol kehidupan. Konon, masyarakat lokal melakukan tradisi pemujaan kepada Dewi Sri sebagai bentuk untuk mengucap terima kasih, sekaligus memohon agar hasil panen baik dan melimpah.

Namun, tradisi menjaga bumi dan “ucapan” terima kasih kepada alam tidak hanya berkaitan dengan ritual Dewi Sri saja. Setiap daerah di Indonesia memiliki tradisi-tradisi unik yang dilakukan untuk menjaga kelestarian alam secara menyeluruh, sekaligus berterima kasih kepada bumi, berikut beberapa di antaranya:

Tradisi Wiwitan

Sosok Dewi Sri tidak bisa dipisahkan dari berbagai tradisi masyarakat Jawa. Sebut salah satunya adalah tradisi Wiwitan, yang dilakukan oleh masyarakat Jawa sebelum masa panen padi dilakukan. Menurut kepercayaan, tradisi ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah.

Tradisi Wiwitan diawali dengan memanjatkan doa, dan dilanjutkan memotong pada sebagai simbol siap panen. Setelah itu, tradisi ini dilanjutkan dengan membagikan makanan yang telah dipersiapkan kepada seluruh masyarakat sekitar, lalu menyantapnya bersama. 

Festival Jatiluwih

Kalau membahas Desa Jatiluwih, Bali, mungkin kita hanya akan mengingat keindahan Subak Jatiluwih yang dinobatkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO pada 2012. Namun, ada satu lagi daya tarik dari Desa Jatiluwih, yakni Festival Jatiluwih.

Festival berbalut tradisi ini dilakukan dengan memadukan kebudayaan dan kesenian tradisional, seni pertunjukan, seni rupa, seni musik, hingga memamerkan produk-produk kreatif khas Jatiluwih. Menurut kepercayaan, tradisi Jatiluwih dilakukan sebagai bentuk ucapan syukur atas ketersediaan pangan di Bumi, terutama persedian padi. 

BACA JUGA: Bali Raih Penghargaan The Best Island dari Majalah DestinAsian 

Foto: Rangkaian dalam tradisi Ngertakeun Bumi Lamba (Shutterstock/dani daniar)

Ngertakeun Bumi Lamba

Selain mengucap syukur atas persediaan pangan dan hasil panen, di Jawa Barat juga memiliki tradisi menjaga bumi yang masih dilakukan hingga saat ini. Tradisi tersebut dikenal sebagai tradisi Ngertakeun Bumi Lamba, atau upacara menjalankan pesan kasepuhan dengan menitipkan tiga gunung sebagai paku alam (diperlakukan sebagai tempat suci). Ketiga gunung tersebut adalah Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Wayang, dan Gunung Gede.

Konon, tradisi Ngertakeun Bumi Lamba merupakan manifestasi hubungan harmonis antara manusia dengan alam dan sang pencipta. Hal ini senada dengan filosofi hidup masyarakat Sunda, Mulasara Buana atau memelihara alam semesta, sekaligus menjaga keseimbangan alam dari berbagai perilaku yang cenderung mengeksploitasi alam secara berlebihan. 

Paca Goya

Tradisi menjaga dan berterima kasih kepada bumi yang tidak kalah menarik adalah tradisi Paca Goya yang dilakukan masyarakat Kampung Kalaodi, Tidore. Dalam bahasa Tidore, Paca Goya diartikan sebagai tempat membersihkan keramat. Tradisi ini sudah dilakukan secara turun-temurun sebagai bentuk syukur kepada Yang Maha Kuasa atas hasil panen yang melimpah.

Di samping itu, tradisi Paca Goya juga dilakukan sebagai pengingat warga Kalaodi untuk tidak merusak maupun mengeksploitasi alam secara berlebihan. Bahkan, sebagai bentuk komitmen, masyarakat lokal memegang sumpah Bobeto yang artinya “siapa merusak alam, akan dirusak alam”.

BACA JUGA: Menparekraf: Tradisi “Tepung Tawar” Sarat Makna dan Harus Dilestarikan   

Buka Egek 

Satu lagi tradisi menjaga Bumi di Indonesia adalah tradisi Buka Egek. Tradisi yang dilakukan oleh Suku Moi, Papua ini merupakan tradisi untuk menjaga alam dengan mengambil secukupnya, dan tidak mengeskploitasi kekayaan alam secara berlebihan. 

Menariknya, dalam tradisi Buka Egek, ada beberapa jenis sumber daya alam yang dilarang dieksploitasi oleh siapa pun dalam rentang waktu tertentu, atau antara 6-12 bulan. Larangan dalam rentang waktu tersebut dibuat agar sejumlah sumber daya alam mempunyai kesempatan untuk berkembang dan terjaga dengan baik. 

Bagaimana, ternyata ada banyak cara menarik untuk memperingati Hari Bumi Sedunia, sekaligus menjaga tradisi yang sudah dilakukan secara turun-temurun, kan?

BACA JUGA: Mewujudkan Parekraf Hijau 2024, Bagaimana Implementasinya? 

Cover: Patung Dewi Sri di Desa Jatiluwih Bali yang menjadi ikon wisata (Shuttestock/Timmy L)

Kemenparekraf / Baparekraf
Kemenparekraf/Baparekraf RISenin, 22 April 2024
5012
© 2024 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif