Ingin tahu soal 5 Destinasi Super Prioritas,klik di sini ya!
Mewaspadai Bencana di Destinasi Wisata

Mewaspadai Bencana di Destinasi Wisata

2

Bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan kekeringan menurut organisasi lingkungan hidup WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) telah diperkirakan terjadi di 90% wilayah tanah air. Selain topografi alami di suatu wilayah, potensi bencana ekologis Indonesia turut disebabkan maraknya deforestasi, perubahan iklim, pembangunan tanpa mengindahkan lingkungan, praktik pertambangan, serta monokultur seperti perkebunan sawit di Indonesia. Bencana lingkungan yang berkaitan erat dengan hubungan timbal balik manusia dengan lingkungannya ini, membuat kompleksitas bencana di Indonesia semakin tinggi selain adanya bencana alam. Tentunya hal tersebut menjadi tak menguntungkan bagi sektor pariwisata, yang sangat bergantung pada pergerakan manusia untuk menggerakkan sisi ekonominya. Di lain sisi, pariwisata juga berpotensi menimbulkan konsekuensi serius terhadap kondisi ekologi. Hal ini didasarkan pada kegiatan wisata yang umumnya dikelola secara masif tanpa memperhatikan keberlanjutan ekologi. Misalnya memicu pertumbuhan sarana (vila dan guesthouse) serta meningkatnya konversi lahan dari pertanian ke non pertanian. Pengembangan wisata yang tidak berkelanjutan seperti itu, berpotensi mendorong penggunaan sumber daya alam yang mengarah pada transformasi habitat secara ekologis serta punahnya flora dan fauna. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang tahun 2020 saja terjadi 2.929 bencana alam di Indonesia. Banjir menduduki tempat tertinggi yakni sebesar 1.067 kasus. Jumlah tersebut disusul bencana puting beliung yang mencapai 875 kasus dan diakhiri oleh erupsi gunung sebanyak 7 kasus. Karena itu, untuk mewaspadai bencana di destinasi wisata sebaiknya lokasi tujuan menyiapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) mitigasi yang mengacu pada UN World Tourism Organization (UN-WTO). Sebab pada hakikatnya, aspek keamanan dan keselamatan dari bencana merupakan salah satu bagian hal yang paling diperhatikan wisatawan saat menentukan destinasi wisata. Kemenparekraf/Baparekraf sejak 2019 lalu telah membentuk Mitigation Plan yang mengacu pada standar UN-WTO yang terbagi dalam tiga tahapan, yaitu Tahap Tanggap Darurat, Pemulihan (Rehabilitasi), dan Normalisasi. Tanah longsor seringkali terjadi di kawasan wisata perbukitan. (Foto: Shutterstock/Namimata Fotostudio Secara umum, mitigation plan untuk menyamakan persepsi bahwa pengembangan kawasan pariwisata, khususnya destinasi wisata alam, tidak dapat dipisahkan dari mitigasi bencana. Selain itu, pengembangan kawasan pariwisata secara masif tanpa menyiapkan mitigasi bencana dapat berkonsekuensi pada meningkatnya risiko atau potensi dampak kerugian dan korban akibat bencana pada masa mendatang. Tata ruang merupakan instrumen untuk mengelola dan mengurangi risiko bencana tersebut (living in harmony with disaster risk). Maka setiap daerah atau destinasi wisata wajib memiliki perencanaan pengembangan pariwisata tangguh bencana yang dianalisis berdasarkan kerentanan wilayahnya masing-masing. Beberapa adaptasi struktural, seperti keberadaan tanda evakuasi (peringatan/rambu/tanda bahaya, pos penjaga pantai/SAR/BPBD, pengeras suara, dan early warning system), jalur evakuasi, titik kumpul, serta bentuk bangunan tertentu dapat dinyatakan bahwa destinasi wisata sudah menerapkan upaya mitigasi untuk meminimalkan risiko bencana. Selain itu, ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan setempat seperti rumah sakit, puskesmas/klinik/praktik dokter, dan apotek juga menjadi indikator sebuah daerah atau destinasi wisata telah memenuhi persyaratan pariwisata tangguh bencana. Sementara adaptasi mitigasi non-struktural meliputi peningkatan kapasitas masyarakat, menggali kearifan lokal, sertifikasi pemandu wisata, sertifikasi tim penyelamat, sertifikasi kesiapsiagaan bencana, penyediaan tim manajemen darurat dengan SOP yang telah ditetapkan. Selanjutnya terdapat update informasi berkala terkait aktivitas kebencanaan, menjalin koordinasi dan komunikasi yang berkelanjutan antar kabupaten/kota di kawasan sekitar untuk pengorganisasian dan langkah-langkah yang tepat guna mewaspadai bencana ekologis pada destinasi wisata. Destinasi Wisata Terdampak Bencana Alam dan Ekologis Selama kurun waktu 20 tahun ke belakang, sekurangnya terjadi bencana skala besar yang juga menimpa beberapa destinasi wisata tanah air. Tsunami yang terjadi di Aceh pada 2004 silam, telah menutup akses beberapa beberapa destinasi wisata misalnya Masjid Raya Baiturrahman, Pulau Weh di Sabang, dan lainnya. Selain itu bencana gempa bumi 6,3 skala richter di Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2006, secara otomatis juga menutup akses destinasi wisata Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Guncangan gempa membuat kerusakan parah lingkungan candi, sehingga diperlukan perbaikan selama beberapa waktu. Bencana alam lainnya yang membuat destinasi wisata ditutup adalah erupsi Gunung Semeru pada 1 Desember 2020 lalu. Saat kejadian tersebut pengelola Taman Nasional Bromo Tengger Semeru segera menutup akses wisatawan untuk mengunjungi destinasi ini. Baru-baru ini pada Januari 2021 terjadi juga bencana ekologis di kawasan Puncak, Bogor. Mengutip data yang dilansir kompas.com, bencana banjir bandang yang terjadi tak hanya melanda pemukiman warga, tapi berdampak pada beberapa lokasi wisata di sekitar Cisarua. Seperti Kampung Batik, Agro Gunung Mas, Kawasan Wisata Perkebunan Agro Gunung Mas, Desa Wisata, dan Evergreen Villages. Foto Cover: Shutterstoc/Brodin

Kemenparekraf / Baparekraf
Kemenparekraf/Baparekraf RIJumat, 26 Februari 2021
8769
© 2024 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif